WAJIB BACA! Mohammad Monib, Seorang Intelektual Muslim: Saya Butuh Manajer Birokrasi Bukan Imam Sholat




Berita Metropolitan – Hampir setiap menjelang pemilihan pemimpin

(pemilu dan pilkada), kerap kali beredar isu-isu miring yang melekat

pada para calon pemimpin, mulai dari isu-isu sensitif seperti neoliberal

dari segi ekonomi, antek partai terlarang, rasis, atau latar belakang

keyakinan agama.




Dalam konteks Pilkada DKI 2017, isu yang sangat santer berkecamuk

adalah SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Hal ini karena salah

satu calon, yakni petahana Basuki Tjahaja Purnama (ahok) dari latar

belakang etnis dan agama minoritas.


Berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, Ahok banyak diserang

karena latar belakang agamanya. Namun, hal ini tak berlaku bagi

intelektual Muslim Mohammad Monib.


Murid almarhum Nurcholis Madjid ini mempunyai alasan tersendiri mengenai pemimpin non-Muslim yang memerintah umat Islam.


Baginya, non-Muslim boleh menjadi pemimpin selama dia tidak

memushi Islam, apalagi dia sebagai warga negara yang sah dan berhak

untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin.


Mendukung Ahok


Direktur Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP)

Mohammad Monib menjelaskan jika ayat yang mengharamkan pemimpin

non-Muslim itu memiliki asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat) yang lekat dengan konteks sosio-politik saat itu.


“Ahok bekerja dengan baik dan terlihat hasilnya. Banyak

programnya yang tidak dilakukan oleh gubernur Muslim sebelumnya,” kata

Monib kepada Rimanews ditemui di kediamannya, Rabu (06/10/2016) malam.


Terkait kesantunan Ahok yang dikritik banyak pihak, alumni Gontor

yang tengah merintis sebuah pondok pesantren untuk kaum dhuafa ini

mengatakan jika bekas bupati Belitung Timur itu tidak bicara kasar

kepada orang-orang baik. “Ada konteksnya,” jelasnya.


Monib mendukung Ahok juga karena keyakinannya bahwa Ahok tak akan

mengusir pribumi dari Jakarta, termasuk tidak berlaku diskriminatif.


“Biar program-program yang sudah baik bisa dilanjutkan; biar preman-preman politik dan birokrasi ada lawan tandingnya,’ ujarnya.


Ahok,

menurut pria asal Madura ini, sudah mengajari publik tentang

transparansi dalam birokrasi. “Bekerja untuk publik dan cukup bersih

dari korupsi. Saya butuh manajer birokrasi dan pelayan publik, bukan

imam shalat,” katanya.

Dalam memilih pemimpin, dia mengimbau masyarakat untuk berpijak

kepada konstitusi UUD 45, yang memberikan hak kepada semua warga negara

yang bisa melewati prosedur birokrasi untuk berkompetisi dalam

kepemimpinan. Menurutnya, bangsa ini bukan hanya milik orang Islam, tapi

milik bersama.


“Saya lelah melihat politisi dan birokrasi seiman nyolong dan

garong uang rakyat. Saya otonom dalam pemikiran agama, etika dan jalan

hidup. Kelak saya mandiri di hadapan Allah. Karenanya, saya wajib

mandiri dalam menentukan jalan hidup,” katanya.


Polemik al-Maidah ayat 51

Baru-baru ini, publik dibuat geger oleh pernyataan Ahok terkait

surat al-Maidah ayat 51 yang sering dijadikan argumen untuk melarang

non-Muslim menjadi pemimpin. Menurut Monib, masyarakat harus cerdas

dalam memahami makna dengan melihat historisitas ayat tersebut

diturunkan.


“Bagi saya, konteks ayat yang digunakan kan clear. Saat itu habis

perang Uhud (22 Maret 625 M); penduduk Madinah mengalami kegoncangan,

Islam kalah, sebagian orang Islam sangat terancam, kemudian mereka

menyelamatkan diri, bagaimana caranya? Ada yang berfikir mencari

penyelamatan, berkoalisi dengan kaum Quraisy, ada yang berpikir dengan

Yahudi, sementara yahudi itu melakukan banyak pelanggaran. Jadi,

al-Quran mengkritik (pemimpin non-Muslim, red) itu adalah ga ada.

Sehingga, bagi saya, kritik terhadap Ahok tidak serta-merta (dapat

dipakai untuk konteks Ahok, red), karena bagi saya Ahok tidak memusuhi

Islam,” jelasnya.


Monib menilai tidak sepatutnya kepemimpinan dilihat dari

identitas agama. “Saya lebih butuh kepada orang yang menjalankan

prinsip-prinsip kebenaran universal dibandingkan dari sekadar apa yang

disebut saya ‘islam minimalis’ itu, sekedar baca syahadat. Jadi bagi

saya gak ada masalah (dengan pemimpin non-Muslim, red),” katanya.


Monib pun mengutarakan kekecewaan kepada sejumlah politisi yang

dari luar tampak saleh, tetapi tak mampu menanggalkan perilaku koruptif.


“Secara khusus, saya kecewa; temen-temen saya, Anas Urbaningrum

(mantan Ketum Demokrat) saya kenal baik, Fuad Amin (Kyai dan Mantan

Bupati Bangkalan). Di departemen agama itu korupsinya luar biasa. Jadi,

bagi saya kalau ada orang yang bisa saya percaya sampai detik ini

antikorupsi, bersih, ya Ahok ini,” ujarnya.


Mengapa bukan yang lain?


Monib mempunyai penilaian khusus tentang petarung lain di Pilkada

DKI 2017. Sebagaimana diketahui, pasangan lain yang bakal menantang

Ahok-Djarot adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan Agus Harimurti

Yudhoyono dan Sylviana Murni.


Terkait Anies, Monib mengaku mengenalnya secara pribadi sebagai

civitas Universitas Paramadina, jauh sebelum namanya moncer di media.


“Anies gak ada prestasinya, di paramadina, di kementrian juga

tidak ada prestasinya, orang dia batu loncat dan orang yang sangat

pragmatis. Ahok saya lihat bekerja dan saya tidak peduli degan iman dia,

yang penting dia bekerja dengan prinsip-prinsip sebagai profesional

sebagai gubernur, masjid-masjid dia bangun dan sebagainya,” terangnya.


Menurut Monib, nama Anies tiba-tiba melambung bukan karena hasil

kerja keras sendiri. “Anies itu hanya penjual kalimat yang indah,

tertata bagus dan wajah yang menawan, orang terpukau; sudah itu saja,”

jelasnya.


Tentang Agus, Monib mengaku masih belum percaya. “Saya tahu

Sandiaga Uno, dan juga Agus misalnya, belum percaya. Ya kalau mau

dipercaya, buktikan kalau begitu. Kenapa saya musti membuktikan kalau

saya masih melihat Ahok bekerja?” pungkasnya.(rimanews.com)




0 Response to "WAJIB BACA! Mohammad Monib, Seorang Intelektual Muslim: Saya Butuh Manajer Birokrasi Bukan Imam Sholat"

Posting Komentar