INI bukan tentang pertandingan tinju. KO, Knock Out berarti memukul lawan tanpa bisa berkutik lagi, mengalahkan lawan, langsung jatuh. Catatan saya ini tentang, keseleo lidah yang berdampak besar pada kekalahan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Tentu kasus terhangat, bahkan masih terasa panas, tentang AHOK dan Al Maidah 51. Saya tidak masuk pada materi dan persepsi makna, tafsir dan multitafsirnya.
Judul Keseleo Bikin KO ini, akan ikut menjawab: Kenapa dalam Pilkada 2012, Jokowi-Ahok menang atas pasangan Foke-Nara? Kenapa Jokowi-JK juga menang atas Prabowo-Hatta? Kenapa SBY menang dalam Pilpres 2004? Siapakah yang akan menang dalam perhelatan Pilkada Jakarta 2016?

Bagi saya, Ahok telah mengalami keseleo lidah aliasslip of the tongue. Something that you say by accident when you intended to say something else,” demikian versi Wikipedia. Makna, terjadi kecelakaan dalam perkataan ketika berniat baik sekalipun tapi salah atau melahirkan salah paham, salah persepsi dalam kata, kalimat, redaksi ataupun intonasi. Padahal maksudnya baik. Apalagi memang sejak awal punya itikad buruk alias tidak baik, untuk mempengaruhi, melecehkan dan menghinakan kelompok lain. Dampaknya sangat besar, terlihat dari aksi damai dan simpati pemimpin dan umat islam pada Jumat 14 Oktober 2018 kemarin yang melibatkan ribuan umat Islam menolak dan menuntut Ahok diproses secara hukum.
Saya sendiri, bersyukur terlahir sebagai seorang Indonesia sejati. Selain karena terlahir di tanah negeri tercinta, Cibarusah Bekasi, Jawa Barat. Juga karena tanah kelahiran saya, Cibarusah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan tercatat sebagai lokasi pusat pelatihan perang ulama dan kaum santri yang terhimpun dalam Laskar Hizbulloh Sabilillah. Hubbulwathon minal iiman, cinta terhadap tanah air sebagian dari Iman, ajaran yang sudah ditanamkan oleh KH Raden Noeh Inayatillah Ahmad, ayahanda yang telah wafat.
Juga karena saya tumbuh dan besar di lingkungan Islam rahmatan lil’alami, bukan kalangan yang menebar benci, sinis, permusuhan dan kekerasan, apalagi terorisme. Sejak muda, menjadi santri, aktif di pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, memimpin Gerakan Pemuda Ansor dan berkhidmat bagi Nahdlatul Ulama untuk Indonesia dan dunia.
Saya selamanya akan menjadi pembela bhineka tunggal ika. Di kampung, saya biasa bergaul dengan penuh kasih dan harmoni dengan warga china, hindu, budha ataupun Kristen, juga khong hu cu. Selain karena proses belajar tentang Islam-Indonesia yang berpadu seiring dan harmoni, saya banyak berguru langsung kepada KH Abdurrahman Wahid sebagai ABG (Anak Buah GusDur). Ini adalah sunnatulloh, kehendak dan qodrat irodah Alloh. Jadinya, tak ada halangan bagi saya untuk memilih pemimpin entah karena beda suku, bangsa maupun agama; meskipun sebagai seorang muslim, saya pastikan akan mengutamakan pemimpin muslim yang ahli ibadah, amanah, adil dan ahli dalam menjalankan kepemimpinannya. Selama masih ada pemimpin muslim yang demikian, wajiblah bagi diri saya memilih dan memperjuangkan kemenangannya.
Termasuk dengan Ahok alias Gubernur DKI saat ini, saya penuh kekaguman atas dedikasi dan kekuatan leadership-nya, termasuk prestasinya. Namun dalam konteks, DKI Jakarta, asal usulnya, rakyat Jakarta belum pernah memilih Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bukankah, saat Pilkada 2012 Rakyat Jakarta memilih Gubernurnya adalah Jokowi dan Ahok sebagai wakil gubernur dari Jokowi. Hanya karena Jokowi mendapat kesempatan bertarung di Pilpres 2014 dan menang, karena itulah Ahok menjadi Gubernur dadakan karena system ada aturan, bukan hasil pilihan rakyat Jakarta.
Kalaupun saya punya catatan kritis tentang Ahok, pasti tentang sisi kemampuannya dalam menjalankan tugas, fungsi dan amanah, pertanggungjawabannya sebagai seorang Kepala Daerah. Catatan kritis saya tentang komitmennya, janji kampanyenya dan profesionalitasnya. Bukan karena agamanya apa, etnis nya dari suku mana, asal daerahya apa; sama sekali bukan itu.
Menimbang siapa calon gubernur DKI yang terbaik untuk Pilkada 2016 mendatang, menemukan jalannya sendiri. Kekuatan Ahok luar biasa, sama dengan luar biasanya masalah dan resistensi yang muncul. Ahok gagal mengalahkan dirinya. Segala keberanian dan lantangnya menyampaikan apapun pendapat di depan publik mengalami keseleo lidah, slip of the tongue, yang sangat fatal. Terlepas dari pro-kontra, benar dan salahnya atas pernyataan tentang ayat 51 dalam Surat Al-Maidah, yang kemudian mungkin tak pernah diperhitungkan akan mendapat reaksi dan resistensi sangat serius; dari situlah titik awal dan bahkan kulminasi dini, bahwa Ahok sudah kalah sebelum bertanding.
Jika saya menjadi Ahok, saya akan menyadari benar, bahwa kesalahan itulah yang membuat sejak awal apapun yang dilakukan oleh Ahok dan Tim akan membuahkan kekalahan. Hampir sulit, bahkan mustahil bagi saya Ahok bisa mengubah keadaan dengan menghapus noda dan bercak akibat keseleo lidah tersebut. Ibarat kata: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena kepleset lidah itulah, rusaklah seluruh rencana dan niat baiknya sekalipun. Dampaknya, menjauhlah dukungan dan simpati rakyat, baik relawan maupun suara berbasis partai; terlebih suara berbasis islam.
Sekali lagi, saya tidak sedang membawa politik aliran; tapi bicara obyektif dan realistik, secara sosial politik populasi penduduk muslim adalah mayoritas di negeri ini. Pilkada Jakarta adalah barometer nasional. Bahkan di Jakarta sendiri, mayoritas pemilih muslim sudah pasti tidak memilih Ahok. Secara moral dan values, Ahok sudah tergerus oleh lidahnya sendiri. Dalam sebuah tuntunan pepatah ARAB: “Salamatul Insan, fii Hifdzillisaan”, bermakna: Keselamatan seorang manusian tergantung pada lisan nya. Lidah itu memang tak bertulang, tapi bisa meluluh mencelakakan diri dan mengorbankan segala tujuan mulian.
Itu pula yang dialami pada Pilkada 2012. Betapa kuatnya pasangan Foke-Nara, selain incumbent, keduanya tokoh Betawi, bahkan hampir semua survey menunjukkan tingkat kemenangannya, akhirnya malah Jokowi-Ahok yang menang. Saat itu, Foke sempat keseleo lidah yang dipersepsikan anti Jawa dan menghina orang Jawa di Jakarta. Tim Jokowi berhasil mengkapitalisasi momentum tersebut, sehingga bukan hanya orang Jawa, tapi para pendatang alias perantau di Jakarta berbalik mendukung Jokowi sebagai Gubernur.
Bukan karena Ahok mereka beralih dukungan. Puncaknya, secara tak sengaja, candaan dalam Debat Kandidat yang disiarkan langsung, akibat ucapan: “Hay yah…”, nada melecehkan orang Cina yang terlontar dari pasangan Foke, membuat para warga etnik tionghoa suaranya melimpah pada Ahok. Walhasil, dari situlah di saat kamapnye sampai menjelang pemilihan dalam debat terbuka, arus balik suara rakyat mengarah pada kemenangan suara Jokowi-Ahok. Sebagai pengingat: Komposisi mayoritas Jakarta diisi etnis Jawa 35 persen, Betawi 27 persen, Sunda 15 persen. Salah satu kunci kemenangan Jokowi atas Foke adalah dukungan etnis Jawa. Etnis prohok berkisar pada Tionghoa 5,53 persen, Batak 3,61 persen dan etnis minoritas Manado, Papua dan Ambon Kristen (minus 2 persen).
Itu pula yang dialami Pilpres 2014, JOkowi-JK mendapat bonus suara akibat keseleo lidah dari sahabat saya, Fachry Hamzah yang menolak Hari Santri, buat apa ada hari santri? Karena Fachry adalah pendukung dan Tim pemenangan Prabowo-Hatta, maka kecanggihan media digital dan politik era medsos segera cepat menyiarkan ungkapan Fachry tersebut yang akhirnya telah berdampak pada tergerusnya suara Prabowo-Hatta, terutama di kantong Nahdlatul Ulama dan kalangan pesantren. Ditambah, saat terjadi debat terakhir para calon wakil presiden, Hatta keseleo lidah bicara tentang Kalpataru yang langsung dikoreksi oleh JK yang memang sangat piawai dan lincah dalam diplomasi. Puncaknya, nasib Prabowo-Hatta sama dengan nasib Foke-Nara yang terdampak kekalahan karena keseleo lidah lagi.
Semakin kuat argument dan empirik yang saya sampaikan, sesaat jelang Pilpres 2004. Di tahun 2003, ungkapan seorang tokoh senior Partai, yang menyatakan bahwa SBY seperti kelakuan anak TK, alias taman kanak-kanak. Atas pernyataan tersebut, simpati dan suara rakyat mengalir pada sosok SBY yang kemudian terpilih menjadi Presiden ke 6 pertama kali dipilih langsung oleh rakyat pada 2004. Dalam konteks Pilkada DKI 2016, tak heran media menyebut, Pilkada rasa Capres, maksudnya Capres 2004.
Nah, sejarah pun berulang, ketika pengamat Politik, Ikrar Nusa Bakti, ketika jagat politik di tanah air dikejutkan terjunnya seorang Mayor TNI AHY, Agus Harimurti Yudhoyono, bak petir di siang bolong terjun ke arena Pilkada DKI Jakarta, Ikrar pun melontarkan: “itu cuma anak ingusan….”, akibatnya sangat berdampak. AHY mendapat simpati publik, makin popular dan mengalirlah dukungan bagi Sang Prajurit yang gagah berani menembus batas pengabdian dari seorang prajurit muda di gelanggang politik Jakarta yang menjadi barometer politik nasional.
Jika Ahok akan KALAH, siapa pemenangnya? Tinggal antara pasangan AS Versus AS : Anies-Sandy atau Agus-Sylvi? Secara obyektif, saya percaya akan terjadi dua putaran. Atau ada kejutan lain, apakah Agus-Sylvi langsung melaju menjadi pemenangnya atau Anies-Sandy, yang diantara keduanya meraih suara lebih dari 50 persen suara. Masih tersisa waktu 4 bulan lebih untuk saling berkompetisi.
Rasanya, hampir mustahil jika AHOK akan melaju dengan capaian suara melebihi 50 persen plus 1, meskipun bermodalkan petahana dan besarnya dana berlimpah ruah. Kembali, keseleo itu yang bikin KO. Kecuali ada upaya dan situasi luar biasa yang direkayasa dan penuh siasat, termasuk mungkin akan menghalalkan segala cara. Dan, jika itu ditempuh, pastinya akan mengorbankan bangsa dan negara, mencederai demokrasi bermoral, bisa jadi melahirkan chaos dan demokrasi kita kembali ke titik nol.
Jika, Pilkada 2016 itu bak rasa Pilpres, Pilpres yang mana? Mungkin saja dikaitkan dengan Pilpres 2019 karena Jokowi terpilih menjadi Presiden RI ke 7 saat Pilpres 2014 setelah menang dalam Pilkada DKI 2012. Bagi saya, meskipun ini bisa dinilai subyektif, Pilkada 2016 di Jakarta, memang punya rasa Pilpres 2019 dan relevan dengan Pilkada 2004. Kenapa?
Dalam Pilpres 2004, kemenangan SBY ditentukan oleh pesaingnya Megawati yang berjenis perempuan. Bukan saya anti gender, sama sekali bukan. Faktanya, pemahaman umat Islam atas pemimpin perempuan itu bersifat ikhtilaf, beragam makna dan pendapat. Ada pro-kontra boleh tidaknya Presiden perempuan dipilih langsung sebagai pemimpin. Nah, sama halnya di Pilkada DKI saat ini, AHOK yang non muslim, bersifat ikhtilaf, pro-kontra, debatable, boleh atau tidaknya dipilih menjadi Gubernur.
Sisi lainnya, Kemenangan SBY di 2004 karena kekuatan NU dan Muhammadiyah, PKB, PAN dan PPP, menyatu sama-sama mendukung SBY. Hal serupa, saat ini, PKB-PAN-PPP bersatu mengusung dan mendukung AHY-Sylvi untuk Gubernur DKI. Apakah sejarah kemenangan bersejarah SBY di 2004 akan terulang pada AHY di 2016 di Jakarta. Silakan kawan-kawan menyimak sendiri.
Bagi saya atas dasar semua itu, sejarah akan berulang. Ini memang kehendak sejarah. semesta ini pun akan ikut bertasbih mengiringi kehadiran pemimpin baru Jakarta. Semua pada akhirnya atas kehendakNYA. Semua menjadi tanda dan penuntun bagi siapapun yang bertafakkur mencari kebenaran, bahwa politik itu tak bebas nilai, tak hampa dari values dan moral.
salam suarankri 🙂
0 Response to "Ulasan Yang Menarik Munawar Fuad Noeh Pengurus PBNU, Waduh!!! “Keseleo” Ahok Bikin KO"
Posting Komentar